Pidato Anders Wejryd (Co-President of the World Council of Churches)

PANEL 16: Kristen dan Perdamaian

September 11, 2017

Agama itu berbahaya dan sekaligus indah. Agama bisa memberikan dampak yang baik dan buruk dalam kehidupan manusia. Ini mungkin tidak memiliki dampak yang besar karena agama dilihat dari sudut pandang manusia. Simul iustus et peccator seperti yang Luttheran kemukakan. Pada saat yang sama (atau pembenaran) dan tetap berdosa. Agama dapat memberikan kekuatan, khususnya ketika kita menggunakan takdir yang ada sebagai ancaman, tetapi juga ketika kita dipanggil untuk menghargai tradisi yang ada. Kita tidak pernah akan keluaar dari dosa itu sendiri. Sepanjang sejarah, ketika seorang dan gereja menyatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam hal itu, mereka merasa menjadi yang paling benar dan yang terburuknya mereka ikut andil dalam kekejaman itu. Agama, yang tidak mempertimbangkan apa yang dilakukannya terhadap kehidupan orang lain, baik dekat maupun jauh, adalah yang paling egois. Agama, yang tidak menerima kritik sebagai perubahan diri adalah agama yang munafik.
 
Melalui perjanjian baru kita dengan jelas telah melihat cara yang berbeda untuk berhubungan dengan kekuatan duniawi, melalui Yesus, tidak hanya dengan masalah pembayaran pajak, bahkan penerimaan Paulus yang menjadi kepercayaan Kekaisaran Romawi dan akhirnya bertobat terhadapnya melalui Wahyu. Setelah Constantine dan Theodosius telah mengubah situasi yang ada. Sejarah gereja-gereja yang menjadi bagian dari politik, kurang lebih menjadi tradisi super-nasional dalam Romawi Barat, yang bersifat Kaisar-kepausan dalam tradisi timur. Dengan Reformasi Gereja, terutama di zaman Lutheran dan mungkin juga dalam tradisi Anglikan, dalam hubungan dekat mereka dengan raja-raja dan kerajaan-kerajaan di dunia ini, karena mereka dianggap menegakan perintah Allah di dunia. Gereja-gereja mungkin jarang menawarkan perlawanan yang kuat dengan perang. Semuanya berubah ketika masa pemerintahan Constantine, ketika merasa diperlukan kekuatan dan kekayaan untuk kelangsungan hidup gereja dan pesan ini semakin kuat daripada komitmen terhadap agama itu sendiri dan Imitatio Christi. Kami menyadari dilemma yang terjadi saat itu!

 
Jika melihat di Eropa ada tantangan yang sangat besar pada gerakan pietistic ke gereja-gereja nasional terutama di Eropa Utara. Dapat dikatakan pada abad ke-17 tentara Swedia sangat bangga ketika bergerak ke Selatan dan Timur atas nama Raja Swedia dan atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus, sama seperti tantara bangsa-bangsa lain yang ke arah yang berbeda. Beberapa dekade setelah mereka kembali sebagai pecundang, sobek dan lusuh, menyanyikan lagu-lagu tentang pertumpahan darah Yesus dan hanya beberapa yang berbakti. Agama hendaknya menjadi masalah pribadi, seperti juga agenda dan tujuan pencerahan sekuler. Dan-Agama lagi-lagi akan menjadi alat untuk melakukan perlawanan.
Namun, continental pietisme abad ke-17 ini telah berakar, misalnya sampai wabah besar yang terjadi di abad ke-14 dan pada abad ke-15 dan ketika abad ke-16 terjadilah gerakan petani dan perdamaian. Di sini kita melihat bahwa masyarakat sipil pada masa awal telah melakukan hal ini sebelum konsep tentang perdamaian ini ditemukan. Seperti Lutheran yang melihat bahwa ini penting tapi sekaligus menyakitkan untuk meninjau kembali bentrokan yang terjadi pada sejarah gereja yang damai, Mennonites, dan sebagai Lutheran di Jerman pada abad ke-16. Dengan Mennonites kita bertemu dengan orang-orang Kristen yang memiliki komitmen untuk melawan kekerasan, ketidakadilan, dan perang, yang menjadi target mereka adalah gereja-gereja, raja-raja atau yang memiliki kekuatan, saling membenci lawan-lawan mereka-dan orang-orang Kristen saling membenci satu sama lain, mengutuk dan membunuh pejuang perdamaian… Ini adalah kekerasan yang sangat mematikan dalam nama Tuhan.
Kita, sebagai gereja dan kristiani, pasti memiliki sejarah yang beragam.

Begitu banyak inisiatif bagus yang telah dilakukan oleh gereja-gereja dan orang-orang kristiani selama bertahun-tahun. Mereka telah membangkitkan antusiasime dan membuat sesuatu nyata yang berbeda. Gereja telah menunjukan bahwa ketidakadilan dan potensi dari kekuatan itu akan mengancam perdamaian. Gereja telah membuat sebuah perbedaan sikap yang mengubah sudut pandang politik dan prioritas orang-orang. Sekolah-sekolah telah dibangun, dasar nilai telah digarisbawahi, perubahan secara sosial telah terjadi, Hak-hak Azazi Manusia menjadi terlihat dan ditempa, perlucutan senjata dan control terhadap ekspor senjata telah diperkuat. Semua ini telah selesai, selalu diupayakan dan harus terus terjadi. Tapi ketika perang pecah atau ketika terjadi agresi-agresi yang menuntut untuk dipenuhi, bagaimana dengan gereja, biasanya tidak banyak artinya untuk perdamaian. Ingatlah, ketika masa perang dunia I. Dan ketika Presiden Amerika Wilson dengan prinsip-prinsip kekristenan dan kemanusiawian yang sangat baik untuk perdamaian setelah perang dunia I. Pengrusakan dan agresi terlalu kuat dan demokrasi bukan penghalang yang sepadan untuk hal itu. “Oh tidak, Saatnya kita harus melawan”

Jadi menurut pandangan saya jika usaha orang-orang Kristiani untuk menciptakan perdamaian selalu lebih efektif daripada titik temu mereka. Saat permainan kekuatan sudah dimulai sepertinya susah berhenti hanya dengan kekuatan dan kelelahan. Dan para pecundang akan melawan kembali jika kekuatan mereka kembali.

RCC, WCC, AACC, Agama untuk Perdamaian, Sant’Egidio dan yang lainnya telah memainkan peran yang penting sebagai mediator pada masa-masa perang – namun saya piker gereja dan umat kristiani selalu lebih berhasil untuk menjadi mediator sebelum perang pecah dan situasi pasca-perang – kecuali beberapa rekonsiliasi yang bagus, misalnya di Afrika Selatan. Menjadi actor untuk Hak Asasi Manusia yang memiliki perspektif yang panjang dan prinsip yang solid pasti selalu membuat perubahan, terutama jika kita mampu mengangkat dan membuat nilai-nilai hidup kita terlihat bahwa kita benar-benar percaya pada-Nya tapi kadang kita lupa tentang hal ini atau sering tidak mengungkapkannya.
Jika kita bisa menjadi actor yang memegang keadilan dan kedamaian Bersama, kita bisa lebih berhasil daripda kita hanya bertindak terhadap perspektif damai yang terbatas atau perspektif keadilan dengan orang-orang yang tinggal di dalam daging dan darah dan hal ini sangat mengagumkan pencipta. Pada saat kita, seperti gereja Bersama, dapat menjaga hal-hal ini dan dapat bertahan untuk hal-hal serupa secara local, nasional bahkan internasional, maka kita dapat membuat perubahan. Pada hari-hari ini kita harus mengangkat inisiatif UN untuk mengumumkan bahwa senjata nuklir illegal dan mengharapkan tanggung jawab khusus atas inisiatif tersebut dari semua gereja di negara-negara yang memiliki senjata nuklir.

  1. Keadilan dan perdamaian, yang merupakan Golden Rules, dibangun atas akibat perang
  2. Perspektif sejarah yang panjang, yang berbasis Golden Rules, terbentang tanpa waktu, sejarah dan masa depan
  3. Perspektif Internasional, yang berbasis Golden Rules, terbentang dalam geografi
  4. Dan Golden Rules yang berdasarkan pada pengetahuan bahwa kita hanya bisa mencintai karena Tuhan yang mencintai kita lebih dulu dan yang membiarkan matahari tetap menyinari baik untuk yang jahat dan baik dan atas orang-orang yang mencintai Tuhan dan membenci-Nya.

Perdamaian adalah jalan menuju kedamaian. Kita dipanggil untuk berani melihat dan mengungkapkan bagaimana perdamaian terancam dan mengingat dan mengekspresikan bagaimana bencana yang terjadi setelah perang.