Penentangan Gereja Katolik terhadap hukuman mati dimulai oleh paus-paus sebelumnya

Ditulis oleh Mario Marazziti, diterbitkan oleh Los Angeles Times

Ketika Paus Fransiskus menyatakan bahwa hukuman mati sebagai "tidak dapat diterima" minggu lalu, Beliau mengkodifikasikan pengakuan yang dalam bahwa hukuman mati merupakan sisa-sisa masa lalu yang bersifat barbar.

Dapat ditebak, para tokoh Katolik terhadap hukuman mati berselisih bahwa gerakan Beliau merupakan tindakan sembrono seorang paus yang ceroboh dengan doktrin dan tidak mengindahkan kebutuhan bagi kelangsungan ajaran gereja. Tetapi sebenarnya, dengan mengesampingkan hukuman mati, Paus Fransiskus hanya membawa perubahan yang telah meresap di gereja selama beberapa dekade. Posisinya sebenarnya sejalan dengan dua paus pendahulunya. Satu penentangan keras terhadap kekerasan yang menandai tiga abad pertama kehidupan kaum Kristiani. Athenagoras dari Athena, Hippolyptus dari Roma dan Tertullian dari Kartago semua menyatakan bahwa kekerasan bertentangan dengan ajaran Yesus. Banyak orang-orang Kristen awal menolak bertugas sebagai prajurit Romawi untuk alasan yang sama, dan beberapa dari mereka dieksekusi karena penolakan mereka.

Namun demikian, pada abad keempat tradisi Katolik Roma mulai mendukung hukuman mati. Santo Agustinus yang hidup pada abad ke-5 memandang hal tersebut sebagai satu bagian perang, sesuai dengan kewajiban militer satu negara di masa perang. Santo Thomas Aquino pada abad ke-12 memandang hukuman mati sebagai alat yang sah untuk melindungi masyarakat dari para penjahat yang berbahaya. Posisi ini mulai berubah di tahun 1960an. Paus Paulus VI menghapus hukuman mati dari hukum dasar Vatikan tahun 1969. Beberapa tahun kemudian, Beliau meminta diktator Spanyol Jenderal Fransisco Franco mengubah hukuman mati lima terdakwa teroris Basque. Adalah Paus Yohanes Paulus II ,yang terpilih pada tahun 1978, yang mulai menyerukan penghapusan praktik tersebut, dan menyebut hukuman mati sebagai "kejam dan tidak diperlukan". Beliau menjadi sponsor usaha untuk mengurangi penggunaan hukuman mati di seluruh dunia dan memerintahkan wakil kepausan untuk menolak eksekusi di negara tertentu.

Ketika Gereja Katolik pertama kali menerbitkan katekismus terbaru, di tahun 1992, selama masa kepausan Yohanes Paulus II , katekismus tersebut menegaskan kembali satu pilihan hukuman "tanpa darah" tetapi mengizinkan hukuman mati untuk "kasus-kasus yang memiliki kegawatan ekstrim". Gereja kemudian merevisi katekismus lima tahun kemudian, mengubah posisi gereja terhadap hukuman mati menjadi hampir menolak dan menyatakan bahwa kasus-kasus yang mana para penjahat harus dihapus penebusannya sangat jarang, atau malahan hampir tidak ada.
Paus Benediktus XVI membuat penentangan gereja menjadi lebih tegas dengan berikrar untuk menghapuskan hukuman mati dan mendesak para menteri kehakiman untuk mendukung usaha-usaha untuk menghapus hukuman mati di seluruh dunia.
Ketika Paus Fransiskus terpilih pada tahun 2013, Beliau tidak membawa satu posisi yang lebih ekstrim terhadap Vatikan sebagai seseorang yang blak-blakan. Beliau benar-benar membawa perhatian yang lebih besar bagi gagasan belas kasih khususnya ketika berkaitan dengan keterlibatan gereja dalam urusan duniawi.
Bagi Fransiskus, seperti yang Beliau tekankan, "belas kasih adalah keadilan Allah". Oleh karena itu, Beliau memandang gereja sebagai pembawa belas kasih daripada keadilan atau penghakiman secara eksklusif. Beliau bahkan menyerukan Tahun Kerahiman Luar Biasa tahun 2015 untuk memfokuskan pada isu belas kasih, mengajak orang-orang Katolik dan dunia pada umumnya untuk mencari belas kasih dari orang lain dan menunjukkan belas kasih kepada orang lain.

Perubahan Beliau terhadap katekismus merupakan penambahan dari penegasan ini dalam belas kasih. Teks baru dimulai dengan menjabarkan alasan gereja di masa lalu bagi hukuman mati: Alternatif terhadap hukuman mati pada pemerintahan yang sah, sejalan dengan pengadilan yang adil, telah lama dianggap sebagai respon yang tetap bagi beratnya kejahatan tertentu, meskipun ekstrim, sebagai cara yang bisa diterima untuk menjaga kebaikan bersama.
Kemudian dinyatakan pula bahwa alasan lama tersebut cacat, karena martabat manusia tidak hilang bahkan setelah dia melakukan kejahatan yang sangat serius. Ditambahkan: "Sistem yang lebih efektif bagi penahanan telah dikembangkan, yang menjamin perlindungan warga negara, pada saat yang sama, tidak benar-benar menghilangkan pihak yang bersalah terhadap kemungkinan penebusan.
Ajaran tersebut menyimpulkan: "Hukuman mati tidak bisa diterima karena hukuman mati merupakan terhadap martabat seseorang yang tidak bisa diganggu gugat dan [gereja] bekerja dengan sungguh-sungguh bagi penghapusan di seluruh dunia.
Fransiskus tidak membuat terobosan radikal dengan ajaran dari para pendahulunya. Namun, dia beranjak dengan gagasan bahwa ada contoh yang "sangat langka" yang mana eksekusi seorang penjahat disetujui. Apapun kesalahan mereka, seorang penjahat tetaplah seorang manusia - dan oleh sebab itu mereka dapat bertobat, pertobatan hati dan penebusan.

Posisi gereja saat ini konsisten dengan gerakan global untuk menghapuskan hukuman mati. Lebih dari 140 negara telah menghapuskan hukuman mati atau menghentikan eksekusi secara legal atau moratorium de facto. Negara-negara yang terus mengizinkan praktik ini —termasuk Arab Saudi, Iran, Korea Utara dan juga Amerika serikat— merupakan pengecualian. Hukuman mati bukanlah keadilan. Hukuman mati adalah dendam, dendam yang membuat para pembunuh yang menyebabkannya. Dengan menghapus hukuman mati, Paus Fransiskus telah menetapkan satu standar bagi orang-orang Katolik dan seluruh dunia, menawarkan satu model keadilan yang dilembutkan oleh kasih, selalu dan di setiap contoh.

Mario Marazziti adalah penulis buku“13 Ways of Looking at the Death Penalty” dan koordinator kampanye global anti hukuman mati Komunitas Sant'Egidio.