I Have A Dream: Membangun Jembatan Solidaritas Antar Generasi, Melawan Pesimisme dan Ketidakpedulian

Dialog Lintas Iman-Budaya & Doa Bagi Perdamaian

Dialog Lintas Iman-Budaya dan Doa Bagi Perdamaian yang diadakan di Kota Yogyakarta 27 Oktober 2018 selain dihadiri oleh para pemuka agama-agama, juga dihadiri oleh beberapa tokoh muda penggiat perdamaian, HAM dan budayawan.

Bahasa Cinta, Bahasa Universal

Para narasumber dalam sesi ini mengungkapkan beberapa keprihatinan dan impian mereka tentang tantangan kehidupan orang muda milenial di era globalisasi. Misalnya seperti diungkapkan oleh Jirhas Ranie tentang pentingnya memahami bahasa cinta yang dapat dimulai dari kehidupan keluarga khususnya dari seorang Ibu dan membawanya ke dalam ruang lingkup kehidupan yang lebih luas di dalam masyarakat. Bahasa Cinta adalah bahasa universal yang bisa digunakan oleh setiap orang untuk membangun jembatan perdamaian, membuat kita mampu memahami dan akhirnya menghargai perbedaan. Terkait dengan hal ini Lilik Krismantoro, penggiat muda Katolik berujar tentang sebuah proses perjumpaan dengan realita yang berbeda semestinya membebaskan setiap orang dari prasangka dan kecurigaan. Perjumpaan juga sebuah usaha untuk melewati batas-batas yang sering kita buat untuk diri sendiri dan jalan untuk membangun perdamaian adalah dengan terus belajar dan memiliki pengetahuan.

 

Melawan Pesimisme dan Ketidakpedulian

Yunan Helmi, seorang musisi muda dan budayawan yang konsen dengan isu perdamaian, memberikan sebuah kesaksian mengenai kehidupan orang muda saat ini yang kental dengan sikap apatis, materialistis dan kerap menjadi radikal. Dunia yang terbagi menjadi dua, nyata dan maya, dua harus dihadapi dengan sebuah itikad baik. Hal terburuk saat ini adalah pesimisme dan ketidakpedulian, oleh karena itu, orang muda butuh sebuah itikad baik untuk terus menghasilkan hal-hal positif sehingga berdampak bagi masyarakat. Yunan menghimbau agar tidak takut menjadi orang muda yang aktif dan peduli karena banyak yang membutuhkan.

Nara sumber dari Lembaga Bantuan Hukum, Emanuel Gobay yang turut hadir dalam dialog ini memperkaya pertemuan dengan memberi pengertian bahwa usaha membangun jembatan perdamaian dimulai dengan berpijak pada penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia sebagai kerangka perjuangan.

 

I Have A Dream

Perwakilan dari Youth For Peace Yogyakarta, Alloy Do Carmo menutup perjumpaan ini dengan mengajak setiap orang muda untuk memiliki impian tentang masa depan hidup bersama yang penuh dengan toleransi dan harmonis. Setiap masalah yang ada saat ini merupakan pekerjaan bersama yang harus dihadapi sebagai tanggung jawab, bukannya dihindari. Impian akan masa depan yang damai ini bisa dimulai dari persahabatan dengan sesama yang hidup di “pinggiran”, contohnya sahabat jalanan dan para lansia. Bersahabat dengan mereka artinya mendekati dan menyembuhkan luka-luka dunia yang timbul akibat ketiaadaan rasa damai, ketidakpeduliaan, dan individualisme. Para lansia adalah contoh lain sebuah kehidupan manusia yang terbuang ke sebuah “pulau” terpencil karena tidak lagi produktif, dan semakin lama pulau itu berubah menjadi sebuah “benua” baru yang sunyi di tengah dunia global. Bagi Youth for Peace, kehidupan para lansia adalah harta bagi kaum muda untuk belajar bagi hari ini dan masa depan. Mengenal dan bersahabat dengan kehidupan di berbagai “pinggiran” adalah cara bagi orang muda untuk membaca tanda dan arah ke mana perubahan zaman akan berjalan.