Sambutan Andrea Riccardi pada Pertemuan dan Doa Damai di Bologna 2018


Andrea Riccardi
Ahli Sejarah, Pendiri Komunitas Sant'Egidio


Saling bertemu kembali di Bologna, satu kota yang selalu peka terhadap damai dan dialog (Saya berpikir tentang tahun 60an dan Kardinal Lercaro), merupakan tempat yang tepat bagi kita. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Mgr. Matteo Zuppi, seorang insan pembawa damai, pencipta perdamaian di tempat terjadi peperangan, dan seorang saudara bagi saya. Bologna merupakan satu peristiwa besar dan hal itu datang dengan cara yang tidak menyolok mata untuk melanjutkan membuka utas dialog yang tidak terputus; dimulai di Asisi oleh Yohanes Paulus II pada bulan Oktober 1986 selama perang dingin: satu dialog yang memikul skenario berbeda dan sulit dari kekerasan dan hasutan perang, tetapi juga perjanjian perang tanpa harapan.
 
Banyak yang hadir, para pemimpin dan kaum beriman telah penjadi aktor dan pelaku utama. Banyak hal dicurahkan bagi peristiwa berulang ini, karena mereka bisa melihat ikatan mendalam yang mempertemukan sikap spiritual, doa dan dialog. Saya hanya akan menyebutkan Uskup Koptik Amba Epiphanios, seorang insan pendialog yang sederhana dan juga sahabat dari pertemuan kita, baru-baru ini tewas dalam tindakan kekerasan di Mesir. Spiritualitas dan dialog bukanlah bagi manusia religius saja, spiritual dan dialog berkenaan dengan mereka kaum humanis juga seperti ditulis Abraham Yehoshua , “meskipun saya tidak percaya kepada Tuhan, keberadaanNya di dalam pikiran banyak orang menjadi keprihatinan dan memengaruhi saya”.
 
Perang dingin, dinding pemisah dan keseimbangan teror nampaknya mengalahkan euforia globalisasi setelah 1989: hampir seperti takdir, membawa segalanya menuju perbangunan dan harmoni. Segalanya - dari ekonomi, keuangan, media- menyatukan, sehingga menimbulkan primadona global. Semua negosiasi dengan globalisasi yang menang diabaikan. Tetapi di samping ekonomi yang terglobalisasi, penyatuan spiritual melalui dialog hilang. Dunia spiritual sering tetap melekat kepada cakrawala tradisi masa silam. Pada banyak peristiwa agama tidak melihat globalisasi sebagai petualangan semangat, meskipun mereka mengalami pertemuan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sejumlah skenario yang menyulitkan. Yohanes Paulus II, dengan pandangan ke depan, merasakan itu di Asisi pada 1986.
 
Sebaliknya, beberapa bidang keagamaan mengikatkan dirinya kepada kekuatan yang melawan globalisasi, menyakralkan identitas fundamentalis; identitas yang berlawanan satu dengan yang lain, kadang-kadang identitas teroris, melepaskan diri mereka dari sejarah dan latar belakang budaya mereka. Dialog, seni yang sangat tua dan relijius ini, disingkirkan untuk saling bertarung, atau untuk berbicara dengan cepat dan antagonis. Perang agama atau kekerasan berbasis agama diabsahkan. 
 
Dunia global tidak membawa perdamaian, malahan menyebabkan perang yang mengerikan, seperti di Suriah, sejak 2011 (dan saya bersedih hati pagi Patriakh Aphrem). Hari ini, sekarang bahwa optimisme primadona global telah berlalu, dunia global ditandai oleh perpecahan, dinding-dinding penghalang, dan kebencian. Banyak ketakutan bersemayam di hati manusia, yang mencari jaminan, bahkan ketika mereka saling berlawanan seperti musuh bebuyutan.
 
Dalam setiap ruang gerak, masyarakat merasakan ketakutan. Tetapi, di dunia bagian utara, kita tidak pernah menyaksikan waktu seaman seperti ini. Zygmunt Bauman, yang menghadiri pertemuan kita menuliskan: “Generasi yang dilengkapi teknologi terbaik dalam sejarah manusia - diri kita sendiri- juga ....menderita karena tidak punya perasaan tidak aman dan tidak berdaya. Kita mengalami apa yang disebut Mircea Eliade sebagai “ketakutan akan sejarah, yang membawa kepada berbagai pembelaan, membentengi identitas dan ruang manusia sendiri, menyerang, berbicara dengan kasar satu sama lain.
 
Agama juga berisiko ditarik ke dalam benteng ini dari ruang dan identitas mereka sendiri, memangsa nasionalisme atau kebencian. Referensi diri agama, yang tertutup di balik pagar mereka dan menutup pagar mereka, adalah tidurnya roh. Hal ini terjadi ketika rancangan persatuan atau komunitas di antara manusia berada dalam keadaan krisis; ketegangan yang menyatu telah berkurang di antara komunitas-komunitas relijius. Dan “diri sendiri” atau “bentuk kita yang terbatas” secara nyata nampak.
 
Selama tahun-tahun terakhir, semangat Asisi telah mengalir ke arah yang bertentangan, dan berulang kali memanggil orang-orang untuk bertemu, semangat Asisi telah menyingkap fanatisme, menegaskan bahwa perang dalam nama agama merupakan perang terhadap agama. Semangat Asisi menyerukan kepada kita untuk meninggalkan dinding penghalang. Apakah ini berguna di dunia yang menyukai perang? Perselisihan verbal sebenarnya mengatur premis kepada kebencian nyata; persenjataan disiapkan sementara pidato diadakan. Tidak ada hegemoni dapat menyatukan dunia yang terpecah dan rumit. Pemerintah dunia tidak terlihat.
 
Namun demikian, diperlukan visi global dan ekumenis untuk hidup, bernafas, membangun perdamaian dan hidup dalam damai: kesadaranlah yang membuat kita semua, pria, wanita membangun satu ras manusia. Dalam dunia yang menakutkan, terpecah dan marah, agama memerlukan hembusan ketenangan yang memupuk kesadaran nasib bersama di antara manusia. Mereka mengajarkan bahwa manusia terlibat dalam perjalanan panjang menuju nasib bersama. Mereka mengatakan di dalam cara yang berbeda dan menggunakan lidah rohani. Hal tersebut merupakan kesadaran mendasar, sesederhana roti dan seperlunya air, solid dan nyaman.
 
Satu nasib bersama dalam perbedaan: “Semua saudara, semua berbeda -ujar ahli antropologi Germaine Tillion yang menjadi penyintas di kamp Nazi setelah banyak penderitaan. Kadang-kadang, sayangnya, kesadaran kemanusiaan umum hilang dalam kerumitan kebencian dan kepentingan diri sendiri, dalam jarak, dalam kepura-puraan biasa sehari-hari, dalam propaganda umpatan, dalam fanatisme, dalam logika kebencian. Manusia tidak mengenali kemanusiaan yang lainnya. Cemoohan masa lalu muncul kembali, hampir usang, seperti nasionalisme tua yang nampak dikubur atau gagasan tentang ras.
 
Dengan pengalaman melakukan perjalanan melalui berbagai macam sudut pandang dunia, Kapushchinsky menuliskan: “Setiap kali manusia bertemu dengan manusia, dia selalu memiliki tiga pilihan di hadapan dia: berperang dengan mereka, mengucilkan dirinya di balik dinding atau melakukan dialog. Kita perlu memberikan dorongan terhadap seni dialog, mengkonsolidasikan rasa nasib bersama, akar dan jalan damai dan hidup bersama. Seni dialog merupakan amanat autentik dan damai, dipupuk oleh pertemuan, bukan agresi terhadap yang lain dengan menggunakan kata-kata sebagai senjata: hal itu membawa orang menjadi lebih dekat, menyoroti apa yang mereka bagi, dan itu adalah terhormat. Seni dialog, seperti yang dikatakan Bauman, merupakan sesuatu yang dibutuhkan kemanusiaan agar dihadapkan, lebih dari apapun, karena alternatifnya terlallu menakutkan....” Alternatifnya adalah perang, atau dunia gelap kebencian! Dunia, yang tidak disentuh oleh peperangan setelah bertahun-tahun (melihat perang orang lain dari kejauhan), tidak lagi memiliki kepekaan untuk melihat bagaimana itu hanya beberapa langkah sebelum Anda masuk ke terowongan konflik yang jahat. Kita perlu untuk memulai untuk berjaga-saja sekali lagi.
 
Melalui dialog kepingan dunia yang terpecah, jembatan atom berbahaya dan rusak dijalin kembali. Seorang insan spiritual abad ke-20, Paulus VI, yang dikanonisasi hari ini, pernah berkata: “Lihatlah ... Asal dialog yang transenden ... Dalam kehendak Allah. Agama dalam sifatnya merupakan hubungan antara Tuhan dan manusia. Doa mengungkapkan hubungan tersebut melalui dialog. Menjadi relijius adalah dengan dialog.
 
Dalam ribuan tahun kebijaksanaan, diasah dengan doa dan dengan bersentuhan dengan penderitaan manusia, agama merupakan bengkel kemanusiaan. Mereka merupakan mahluk hidup: mereka berkumpul dan mendengarkan kerinduan manusia. Mereka bukanlah ideologi, mereka adalah komunitas, berakar dari tanah yang berbeda, dekat dengan kesedihan, kegembiraan dan keringat manusia, mampu mengindahkan setiap tarikan nafas. Saya telah melihat doa banyak orang menderita, dalam kondisi menderita atau dalam pelarian pengungsi yang mengerikan.
 
Dari kedalaman tradisi mereka, dari jalan yang berbeda, agama mendidik untuk dialog sebagai yang melampaui dari diri dalam doa, yang membuka terhadap perjumpaan. Namun demikian, fundamentalisme baru berarti melucuti agama dari ikatan mereka yang dalam dan bertingkat terhadap budaya, mereka ingin melepaskan mereka dan mereduksi mereka menjadi senjata tumpul dan ideologi. Sebaliknya, agama juga merupakan budaya manusia yang bertingkat: agama melawan kebodohan, bahkan ketika disajikan sebagai sesuatu yang kudus, dan simplifikasi fanatis; menyerukan sifat kemanusiaan bersama, yakni kehendak Tuhan. Bertahun lalu, satu teman yang hebat pernah mengatakan:
 
“Setiap agama, yang terbaik, cenderung damai. Kita sadar bahwa agama dalam dirinya sendiri merupakan kekuatan yang lemah. Hal ini merupakan hal asing bagi senjata, bagi kekuatan politik ... Tapi benar-benar memiliki kekuatan semangat yang dapat membuatnya kuat, tak terkalahkan dan pada akhirnya meraih kemenangan. 
 
Untuk alasan inilah, sangatlah tepat untuk memanggil manusia kepada kepada wujud batin mereka kembali, seperti dikatakan oleh Mgr. Zuppi. Kita semua membutuhkannya, dan dunia membutuhkannya. Seorang anak Tuhan di Bologna, Giuseppe Dossetti, pernah mengatakan beberapa tahun lalu: “Menurut pendapat saya, titik awal yang tak tergantikan hari ini adalah dengan setia menyatakan dan mengejar, seperti kapal karam, keutamaan mutlak dari interioritas, dari wujud batin
 
Agama dapat menghidupkan kembali bengkel kesatuan keluarga manusia, memberikan dorongan baru untuk menyatukan energi, mengusulkan bahasa yang damai. Hal ini merupakan makna dari pertemuan kita.
 
“Hari ini lebih dari sebelumnya, agama-agama harus memahami tanggung jawab mereka untuk bekerja demi kesatuan keluarga manusia’ - seperti yang dulu Yohanes Paulus II sering katakan. Agama dan budaya dapat memberikan kehidupan baru bagi kesadaran vital ini, yang perlu disebarluaskan kepada setiap orang melalui ceramah dan pendidikan. Hal itu bukanlah sesuatu yang sifatnya akademis, hal itu sesederhana iman itu sendiri. “Jadilah sederhana, dengan kecerdasan” seperti diajarkan oleh John Chrysostom yang agung. 
 
Saya berterima kasih kepada Bologna karena menjadi tuan rumah bagi acara ini. Saya berterima kasih kepada banyak sukarelawan yang secara murah hati berperan serta dalam menyelenggarakan kongres ini. Saya berterima kasih kepada mereka yang mengambil bagian dalam dialog dan doa: ini merupakan tanda cakrawala persatuan bersama tempat cahaya yang berbeda bersinar. Sahabat perjalan kami semenjak 1987, Kardinal Carlo Mantini, yang meninggal dunia beberapa tahun lalu -seorang yang diberkati- mengakhiri pertemuan di Milan tahun 1993 dengan kata-kata ini:
 
“... Dari persimpangan jalan agama yang berbeda tumbuh bantuan besar untuk menghilangkan fokus kita kepada diri kita sendiri, meningkatkan kemampuan kita untuk memahami kerumitan hidup dan dunia. Hal tersebut membuat kita lebih mampu melihat, bersama, solusi bagi konflik yang mustahil ... Tidak ada masa depan dalam peperangan .... Tidak ada harapan bahwa perang akan diam jika hati manusia tidak berubah. Tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada kelembutan doa. 
 
Berdoa berdampingan menolak perbedaan, dialog dan perjumpaan, seperti yang kita lakukan di sini di Bologna, menunjukkan bahwa masa depan hidup dalam ikatan antara pencari damai yang rendah hati, yang dapat dicapai dalam setiap situasi; mereka menunjukkan bahwa damai merupakan keniscayaan dan ada di setiap jantung setiap agama, karena damai merupakan nama yang indah dari Tuhan.
 
Kita tidak dapat membatasi diri kita terhadap realisme berita yang cepat, terkadang keji dan palsu, dan menjadi sasaran bagi pesimisme, emosionalitas, atau rasa tidak relevan saat kita menghadapi kebingungan dan kejahatan yang luar biasa. Pesimisme merupakan penasehat yang mematikan. Manusia pendoa sadar bahwa dunia belum jatuh kepada kejahatan, duni akan dibebaskan karena Tuhan tidak meninggalkannya. Membangun jembatan damai, bahkan ketika arus berlawanan, tidak harus mengundurkan diri kepada dinding dan jurang, berarti percaya bahwa banyak - bahkan segalanya - dapat berubah. 
 
Saya ingin mengakhiri dengan kata-kata Paus Fransiskus pada peringatan 30 tahun Asisi
 
“Kita yang bersama-sama di sini di dalam damai percaya dan berharap dalam satu dunia yang bersaudara .... Masa depan kita terdiri dari hidup bersama. Untuk alasan inilah kita dipanggil untuk membebaskan diri kita dari beban curiga yang berat, fundamentalisme dan benci. Orang beriman seharusnya pelaku damai di dalam doa kepada Tuhan dan dalam perbuatan bagi kemanusiaan. Sebagai pempimpin agama, kita memiliki kewajiban yang melekat untuk menjadi jembatan dialog yang kuat, mediator kreatif damai.