Pesan Paus Fransiskus pada Penutupan Pertemuan dan Doa Damai di Berlin

Saudara-saudari yang terkasih

Tahun ini kalian berkumpul di Berlin, di Gerbang Brandenburg, para pemimpin Kristen, para pemimpin agama-agama dunia dan para otoritas sipil, yang dikumpulkan oleh Komunitas Sant'Egidio, yang dengan setia meneruskan ziarah doa dan dialog yang dimulai oleh Santo Yohanes Paulus II di Asisi pada tahun 1986. Tempat pertemuan ini sangat menggugah, karena di tempat ini, tepat di mana kalian berkumpul, terjadi peristiwa bersejarah, yakni runtuhnya tembok yang memisahkan dua Jerman. Tembok itu juga membagi dua dunia, Barat dan Timur Eropa. Runtuhnya tembok itu, yang terjadi dengan bantuan berbagai faktor, keberanian dari banyak orang, dan doa banyak orang, membuka perspektif baru: kebebasan bagi masyarakat, penyatuan kembali keluarga, tetapi juga harapan akan perdamaian dunia yang baru, setelah Perang Dingin.

Sayangnya, selama bertahun-tahun, perdamaian tidak dibangun di atas harapan bersama ini, melainkan di atas kepentingan-kepentingan khusus dan ketidakpercayaan terhadap orang lain. Jadi, alih-alih merobohkan tembok, justru malah lebih banyak tembok yang dibangun. Dan dari tembok ke parit, sayangnya, langkahnya sering kali pendek. Hari ini, perang masih menghancurkan terlalu banyak bagian dunia: Saya berpikir tentang begitu banyak daerah di Afrika dan Timur Tengah, tetapi juga di banyak wilayah lain di planet ini; dan tentang Eropa, yang mengetahui perang di Ukraina, konflik mengerikan yang tidak ada ujungnya dan yang telah menyebabkan kematian, luka-luka, rasa sakit, eksodus, kehancuran.

Tahun lalu saya bersama kalian di Roma, di Colosseum, untuk berdoa bagi perdamaian. Kita mendengar jeritan perdamaian yang dilanggar dan diinjak-injak. Saat itu saya berkata: "Seruan perdamaian tidak dapat diredam: seruan ini muncul dari hati para ibu, tertulis di wajah para pengungsi, keluarga-keluarga yang mengungsi, mereka yang terluka dan sekarat. Dan seruan yang hening ini naik ke Surga. Ia tidak mengenal formula ajaib untuk keluar dari konflik, tetapi ia memiliki hak suci untuk meminta perdamaian atas nama penderitaan yang telah dialaminya, dan ia layak untuk didengar. Semua orang, mulai dari para penguasa, berhak membungkuk untuk mendengarkan dengan serius dan hormat. Seruan untuk perdamaian mengungkapkan rasa sakit dan kengerian perang, induk dari semua kemiskinan'.

Menghadapi skenario ini, seseorang tidak bisa pasrah. Sesuatu yang lebih dibutuhkan. Kita membutuhkan 'keberanian untuk berdamai', yang merupakan inti dari pertemuan ini. Realisme saja tidak cukup, pertimbangan politik saja tidak cukup, aspek-aspek strategis yang diterapkan selama ini tidak cukup; lebih banyak yang dibutuhkan, karena perang terus berlanjut. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berdamai: sekarang, karena terlalu banyak konflik yang telah berlangsung terlalu lama, begitu lama sehingga beberapa di antaranya tampaknya tidak akan pernah berakhir, sehingga di dunia di mana segala sesuatu berjalan dengan cepat, hanya akhir dari perang yang tampak lambat. Dibutuhkan keberanian untuk mengetahui bagaimana cara berbelok, terlepas dari rintangan dan kesulitan obyektif. Keberanian memilih jalan perdamaian adalah nubuat yang dibutuhkan oleh mereka yang memegang nasib negara-negara yang sedang berperang di tangan mereka, komunitas internasional, kita semua, terutama pria dan wanita yang percaya, sehingga mereka dapat menyuarakan tangisan para ibu dan ayah, menyuarakan rasa patah hati orang-orang yang jatuh, kesia-siaan kehancuran, mengecam kegilaan perang.

Ya, keberanian perdamaian secara khusus menantang orang-orang percaya, yang di dalamnya diubah menjadi doa, untuk memohon dari Surga apa yang tampaknya mustahil di bumi. Desakan doa adalah bentuk pertama dari keberanian. Kristus dalam Injil menunjukkan "perlunya untuk selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu" (Luk. 18:1), dengan mengatakan: " Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu" (Luk. 11:9). Janganlah kita takut untuk menjadi pengemis perdamaian, bergabung dengan saudara-saudari kita dari agama lain, dan semua orang yang tidak pasrah pada konflik yang tidak terelakkan. Saya bergabung dengan kalian dalam doa untuk mengakhiri perang, berterima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas semua yang kalian lakukan.

Memang, perlu untuk bergerak maju untuk menyeberangi tembok yang mustahil, yang dibangun di atas argumen yang tampaknya tak terbantahkan, di atas ingatan akan begitu banyak kesedihan di masa lalu dan luka-luka besar yang diderita. Memang sulit, tetapi bukan tidak mungkin. Tidaklah mustahil bagi orang-orang percaya, yang menghidupi keberanian doa yang penuh pengharapan. Namun, hal ini juga tidak mustahil bagi para politisi, para pemimpin, dan para diplomat. Marilah kita terus berdoa untuk perdamaian tanpa mengenal lelah, mengetuk dengan rendah hati dan dengan semangat yang kuat pada pintu hati Allah yang selalu terbuka dan pada pintu-pintu hati manusia. Kita memohon agar jalan damai dibukakan, terutama bagi Ukraina yang tersiksa dan sengsara. Kita percaya bahwa Tuhan selalu mendengar jeritan penderitaan anak-anak-Nya. Dengarkanlah kami, Tuhan!

Roma, Santo Yohanes Lateran, 5 September 2023