Impian Eropa dari ayah dan anak yang mempromosikan masyarakat hidup berdampingan dan damai

Ceramah dari Marco Impagliazzo pada konferensi "Bersama bagi Eropa"

MUNICH, GERMAN - Pembukaan Kongres ke-4 “Together for Europe” pada tgl 30 juni. Para peserta adalah komunitas-komunitas dan gerakan-gerakan yang berasal dari seluruh benua. Berikut adalah makalah Presiden Komunitas Sant’Egidio, prof. Marco Impagliazzo, yang menekan soal kekurangan dari warga-warga eropa dan keperluan menemukan kembali indahnya identitas dan misi Eropa; kemudian juga disebut keperluan dunia, mulai dari Afrika mengenai sebuah Eropa yang bersolider dan terbuka.

Ceramah prof. Marco Impagliazzo di Konggress ke-4 "Together for Europe"


Umat kristiani harus mendukung sekali lagi Eropa. Kewajiban itu harus dijalankan atas nama realisme: yaitu karena tidak dapat menghadapi masa depan sendirian. Terutama karena Eropa milik kita: latar belakangnya Eropa adalah sebuah sejarah yang direndam dalam kisah keagamaan kristiani, dan itu sejak dari titik sejarah yang lama, maupun setengah abad terakhir ini sejak dari fondasinya. Thn 1989 pun terkait dengan akar-akar kristiani di benua Eropa: tinggal kita berfikir tentang keruntuhan “Tembok” dan proses pembebasan negara Polandia dimana yang mengambil peran adalah unsur-unsur keagamaan, dan kapasitas kaum orang orang beriman yang mewudjudkan sebuah resistensi, mulai dari Yohanes Paulus ke II.

Kemartiran kristiani pada thn ‘900 telah menandai sebuah sejarah Eropa kemanusiaan yang melibatkan benua seluruhnya. Hal ini tidak berasal dari akar-akar arkeologi atau dari memproklamasi beberapa nilai, sebaliknya hal itu adalah realitas yang hidup. Kelihatan segala hal ini dari kelompok resistensi yang menentang zaman Komunisme di wilayah Rusia dan juga bagian Timur Eropa, yang mengorbangkan banyak jiwa: di Rusia sendiri sekitar 300 uskup di bunuh bersama 1 juta orang yang tewas. Negara Albania memproklamasi diri sebagai negara pertama ateis di dunia dengan menindas segala rupa iman. Kemudian ada juga kelompok yang buat resistensi pada gelombang Nazisme, dimana umat kristiani menjadi pengawal dan pembela kebebasan. Saya sedang berfikir tentang figur seperti Dietrich Bonhoeffer, yang digantung setelah diproses secara tidak adil di Flossenbürg perkara pandangannya yang beroposisi terhadap Nazisme, atau juga ada Pater Paul Schneider yang dari sel dimana dia tinggal berseru kabar Gembira Injil kepada para pidana sedangkan para pengawal mencoba mendiamkan dia dengan dipukulin dengan tongkat. Saya masih ingat tentang sebuah resistensi terhadap proses dehumanisasi, yaitu seperti mafia: di sini saya berfikir tentang Pastor Pino Puglisi, ketua paroki di wilayah “Brancaccio” di kota Palermo. Dia dibunuh karena dia memberi alternatif keselamatan bagi anak-anak dari pada mereka tengelam dan tumbuh dalam konteks mafia. Kemudian banyak rohaniwan rohaniwati misionaris yang mengorbangkan jiwanya menunjukkan bahwa Eropa tidak dapat hidup untuk diri sendiri, sebaliknya harus menjadi satu realitas yang ekstraversi. Dalam pengertian ini, keagamaan kristiani adalah akar kemanusiaan Eropa.

Iman kristiani mempunyai pesan kuat bagi Eropa, khususnya dengan memandang warga-warga Eropa. Ini merupakan panggilan untuk jangan hidup untuk diri sendiri. Dapat kita baca dari Paulus: “Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” (2Kor 5,15)

 

Panggilan kuat dari Injil Yesus , yang dibawakan oleh Paulus di Eropa, dari Yunani ke Roma, menggangu ketertiban kehidupan tenang bagi diri sendiri. Menggangu kehidupan tenang sendirian. Eropa tidak dapat hidup untuk diri sendiri. Perspektif kehidupan Eropa tidak dapat dilihat saja dari ekspansi perekonomian wilayah atau perkembangan negara sendiri. Semakin hidup untuk diri sendiri, semakin laki-laki dan perempuan mati; begitupun mati negara, komunitas, dan negara.

Agama kristiani – seperti diwartakan Paus Fransiskus – adalah sebuah istansi yang menkritik jika rakyat dapat dilihat saja dari sudut pandang pasar. Di komunitas –komunitas kristiani kami, dalam konteks upaya sebagai bangsa di pelbagai sudut di negara Italia dan Eropa, kami sudah menghayati sebuah humanisme meskipun masih ada batas-batas yang kita semua kenal: saya ingin memanggilnya “humanisme spiritual”. Kehidupan Gereja dan Komunitas sebenarnya sering kali sudah menjadi subyek kemanusiaan : itu merupakan sumber kemanusiaan bagi yang miskin dan mereka yang dalam kekurangan; yaitu merupakan sungguh-sungguh alaman kemanusiaan tertulis dalam hidup rakyat. Kita harus memiliki keberanian untuk menimbulkan segala hal ini karena ini adalah kehidupan, solidaritas, ikatan sebagai satu kebudayaan yang dapat dishare.

Pengalaman hidup sebuah bangsa dapat di jadikan kebudayaan yang nyata, paling tidak bisa menjadi proposal kebudayaan trhadap mereka yang tinggal dalam kekosongan pikiran atau ditengan-tengan perdebatan yang ribut dan teriak. Pada hari ini kebudayaan eropa terdapat diantara yang lokal, dan tetangga, namun juga diantara yang jauh dan global. Pandagan Eropa mampu menyatukan perspektif yang tidak dapat dihindari tentang skenario lokal, - berarti hidup saya – dengan skenario duniawi. Titik persimpangan diantara dua skenario ini adalah yang kita sedang menghayati sementara ini yaitu peristiwa imigrasi. Ini merupakan titik penentuan dari humanisme keagamaan kristiani: penyambutan dan penerimaan para imigran tidak berarti saja aksi bersifat baik atau melakukan sebuah aksi sosial, sebaliknya memperlihatakan sebuah gagasan.

Di sini ada Eropa dan Afrika. Uni Eropa tidak dapat hidup untuk diri sendiri. Eropa memiliki misi….Saya berfikir Afrika. Kita semua memiliki tugas dari jaman yang penting: yaitu menciptakan hubungan erat dan tahan lama untuk masa depan Eropa dan Afrika. Ada sebuah kisah kesengsaraan dan juga hubungan yang sangat besar yang mengkaitkan Eroapa dan Afrika.

Sayangnya banyak negara-negara Eropa sedang mundur dari Afrika, jadi sepertinya Afrika menjadi tanah mereka yang merantau ke Eropa. Kerjasama atas perkembangan dan kemajuan Afrika, perjuangan untuk mengatasi penyakit ( AIDS atau Ebola), perang dan konflik adalah semua tugas Eropa. Afrika butuh Eropa. Ini adalah respon yang nyata kepada gelombang- gelombang migrasi, yang tidak akan dihentikan diperbatasan atau dari pemeriksaan di di tengah samudera Mediterraneo. Hanya kemajuan ekonomi dan perkembangan pengharapan di Afrika dapat menghentikan aliran migrasi!

Marilah dijadikan milik kita mimpi Presiden Senghor, seorang pakar budayawan eropa dan afrika: istilah “EURAFRICA”, dua benua yang menjadi satu dalam kebersamaan, satu yang butuh yang lain. Misis pertama Eropa bernama Afrika. Di situ dapat ditemukan arti kebersamaan.

Isu berikut bagi Eropa adalah perdamaian. Eropa merupakan titik permulaandan motivasi dua perang dunia dan juga penbantaian besar yang bernama Shoah. Oleh karena itu apakah Eropa tidak bisa menjadi sebuah paradigma perdamaian dan solidaritas universal? Apakah Eropat tidak dapat memberi sebuah kontribusi penting bagi sejarah perdamaian, dari pada menurunkan level peradabaan dengan degradasi sosial dalam berita harian? Eropa di dunia menjadi lambang damai. Eropa merupakan sebuah benua yang dalam kondisi damai sudah dari 70 thn. Satu Eropa sebenarnya multiplural: karena berbeda dalam bahasa, tradisi, budaya, agama, selera dan harum. Eropa dalam perbedaan, jika satu, dapat merealisasikan satu peradabaan yang berkohabitasi. Ini adalah peradabaan yang kurang di dunia; yaitu karena peradabaan yang ada “dihomogenisasikan” dalam proses globalisasi sampai akhirnya semuanya sama, dan hal ini mengakibatkan reaksi bentrokan di antar peradabaan, dan agama. Keistimewaan peradaban ini diperlukan dalam sebuah perekonomian yang tidak peduli manusia dan kurang humanisme. “Peradabaan yang berkohabitasi” adalah jawaban kita terhadap terorisme, dan fundamentalisme.

Eropa yang memiliki dalam dirinya keberbedaan dan kesatuan, menginkarnasi “peradabaan yang berkohabitasi”. Bahannya adalah; dialog, kehormatan terhadap segala bentuk kebebasan, dan hidup bersama sebagai keseniaan. Hari ini kita semakin perlu Eropa, lebih dari pada kemarin. Kalau tidak, globalisasi membuat kita tidak relevan, lebih parah lagi dengan menjadikan sama, nilai- nilai kita. Wajib mendapatkan Eropa dalam kesatuan, dengan sebuah misi, untuk menjadi warga eropa, supaya kita tidak dihapuskan, supaya kita berada dan eksis di satu dunia yang lebih besar dan kejam. Semakin Eropa satu dan semakin kurang kekejaman di dunia.

Eropa bukan mimpi yang jauh. Saudara dan saudari terkasih kita adalah orang eropa lebih dari pada kita sendiri bayangkan. Warga-warga negara kita masing masing lebih Eropa dari pada kesadaran mereka sendiri. Institusi Eropa memiliki kepentingan sendiri di berbagai negara di eropa. Jaringan kemanusiaan dan kebudayaan dimana kita tinggal adalah Eropa. Tugas umat kristiani adalah menyegarkan kembali dan melontarkan kembali nilai – nilai bapak-bapak pendiri Eropa. Sehingga Eropa tidak dimiliki saja bapak- bapak namun juga dimiliki oleh anak-anak.
(Terjemahan dari bhs itali)