Kenangan bersama Pak Trisno

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
 
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu…..
 
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
 
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan.....
 
Namun semangat tak pernah pudar,
 
meski langkahmu kadang gemetar, kau tetap setia"
 
 
 
 
Penggalan lirik lagu "Titip Rindu buat Ayah" dari Ebiet G. Ade terasa tepat untuk menggambarkan sosok lelaki lanjut usia ini, yang di usia tuanya masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan mengumpulkan barang-barang bekas dan kemudian ketika tubuhnya semakin renta, dia hanya mampu mengemis di sebuah pasar.
 
 
Senyumannya khas, senyum yang terasa tulus selalu terpancar dari sinar matanya, bahkan ketika terbangun dari tidurnya saat menerima kunjungan kami setiap Jumat malam, senyum itu selalu terkembang ketika melihat siapa yang datang. Ya, senyuman di wajah rentanya yang menggambarkan banyaknya tahun-tahun hidup yang telah dilaluinya tidak bisa hilang dari ingatan.
 
“Saya lahir bulan Juli tahun 1921, tapi tanggalnya saya udah lupa”, dia berkata demikian ketika ditanyakan kapan ulang tahunnya. Karena itulah setiap hari Jumat terakhir bulan Juli, kami membuat sebuah pesta kecil dengan meniup lilin ulang tahun buat dirinya.

                   
 
 
Perjalanan persahabatan bersama Pak Trisno, salah seorang sahabat Komunitas Sant’Egidio yang terpaksa harus tinggal di jalan, mengukir sejarah persahabatan yang unik. Kisah hidupnya memberikan inspirasi bagi kita yang hidup di iklim kemerdekaan. Dia telah mengalami masa penjajahan Belanda, sempat direkrut menjadi anggota HEIHO di masa penjajahan Jepang, bahkan mengalami penyiksaan dan membuatnya melarikan diri dengan resiko kehilangan nyawanya jika tertangkap.
 
Berbincang tentang sejarah Indonesia dengannya membuat kita terperangah dengan luasnya wawasan yang ada pada dirinya. Bagaimana gonjang ganjing politik dan bagaimana dekadensi yang terjadi pada masyarakat bisa membuat dia bercerita dengan semangat walau tidak ada lagi gigi yang menempel di gusinya.
 
3 tahun belakangan, kesehatannya semakin menurun, dia sering sakit-sakitan, sehingga lebih sering pulang ke kampungnya di daerah Jawa Tengah. Saran supaya dia jangan “bekerja” lagi sepertinya sulit dari sosok yang terbiasa mandiri ini.
 
 
Setiap kali diundang untuk acara berbuka puasa, dia selalu minta maaf karena tidak sanggup untuk ikut sholat dengan kondisi fisiknya. Dia sangat menghargai bagaimana Komunitas Sant’Egidio selalu menghargai bulan suci Ramadhan, dan dia selalu antusias untuk hadir.
 
 
 
Namun yang lebih istimewa adalah dia menjadi contoh indahnya tinggal dalam keragaman, setiap tahun, ketika baru bulan November saja, dia telah mengingatkan akan tibanya hari Natal. Dia mengungkapkan sukacita dan kebahagiaannya jika mengikuti Makan Siang Natal, katanya senang karena ramai, banyak anak-anak, dan sinterklasnya lucu, gendut….. (sambil memeragakan bentuk tubuh tambun sinterklas dengan tertawa terkekeh-kekeh).
 

 

 

Sukacita yang dialaminya ini membuat kerinduannya untuk selalu hadir saat Makan Siang Natal. Tahun 2013 dan 2015 dia absen karena sedang berada di kampungnya dalam kondisi sakit. Dan dia menyempatkan diri menelpon untuk mengucapkan selamat natal dengan suara yang terkesan lelah dan lemah. Setahun dia berada di kampung, dan menjelang Natal tahun ini, dia membulatkan niat ke Jakarta supaya bisa hadir di acara Makan Siang Natal. Namun karena kondisi fisik dan juga usia, saat malam Natal, 24 Desember 2016 beliau kembali menghadap Sang Pencipta dalam usia 95 tahun.
 
Ada rasa kehilangan yang membuat badan dan jiwa seakan limbung tidak menapak bumi ketika mendengar kabar ini.
 
Tidak ada lagi sosok yang berjalan memasuki tempat Makan Siang Natal. Namun inilah saat yang terbaik baginya yang diberikan oleh Allah untuk kembali kepadaNYA. Selamat jalan Pak Trisno…… terima kasih atas kasih persahabatan yang telah bapak berikan, terima kasih atas pelajaran kehidupan yang bapak bagikan, bahwa kebahagiaan bukanlah ketika kita memiliki kesempurnaan, tetapi ketika kita bisa menerima ketidaksempurnaan dengan tulus dan ikhlas. Terima kasih telah menjadi bagian dalam sejarah persahabatan dengan Komunitas Sant’Egidio.

 

Told and written by Eveline Winarko, Sant'Egidio Jakarta - Indonesia